Akhirnya saya kembali menulis catatan perjalanan setelah sekian lama absen, dan ada teman hidup (yang insya Allah selamanya) menemani perjalanan kali ini 🙂 *sebut saja Mas Titut.
Perjalanan yang cukup impulsif ke Ranu Kumbolo terwujud bulan Oktober, awalnya teman Mas Titut meminjam tas carrier untuk pergi ke Ranu Kumbolo bersama teman-teman sekantornya dan Mas Titut langsung mengajukan diri untuk bergabung ke rombongan. Saya sempat ragu karena musim hujan yang sungguh labil ini bahkan cukup mengerikan di Surabaya, apalagi di daerah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sana. Namun karena rindu yang mendalam pada danau para dewa ini, saya dan Mas Titut memutuskan tetap ikut dengan persiapan kurang dari dua minggu.
Beware : Persiapan (Kurang) Maksimal Menghasilkan Pegal dan Kedinginan 😀
Saya berusaha olahraga sebelum hari H, namun hanya sempat olahraga full 2 hari saja. Haha, jogging dan naik bukit di Kediri selama kurang lebih satu jam dan setelah itu kaki saya langsung pegal-pegal. *Jangan ditiru, please. Setidaknya olahraga full seminggu sebelum tracking ya. Kalau mau muncak ke Semeru, kalau bisa malah satu bulan.
Persiapan logistik cukup oke sebetulnya, karena kami sudah pernah beberapa kali tracking dan punya alat-alat yang layak untuk naik gunung. Jaket tebal, sarung tangan, jas hujan, syal, tenda hadiah perkawinan kami dari teman, dan matras siap diangkut. Untungnya perkomporan sudah disiapkan oleh rombongan teman Mas Titut. Dan kami menggunakan sepatu running ketika itu, biasanya sih baik-baik saja, tapi kalau musim hujan sangat disarankan bawa dua alas kaki jika sepatu yang digunakan tidak anti air, atau kalau ‘hanya’ ke Ranu Kumbolo, sandal gunung juga sudah cukup (sandal gunung kalau basah cepet keringnya).
Here We Go !
Jumat sore kami berangkat dari Bungur Asih ke Terminal Arjosari Malang. Harga karcisnya 25.000 untuk bus patas dan 15.000 untuk bus ekonomi. Sekitar pukul 8 malam kami tiba di terminal Arjosari dan mencari angkot putih menuju pasar Tumpang. Angkot ini pada dasarnya siap hampir 24 jam, tapi semakin malam semakin sepi penumpang, jadi kita harus bayar lebih untuk bisa berangkat. Untungnya saya bertemu ibu-ibu yang ingin cepat sampai Tumpang dan rela membayar kekurangan angkotnya. Jadilah saya dan Mas Titut membayar @15.000 untuk angkot tersebut, tarif normalnya 7.000.
Perjalanan Terminal Arjosari – Tumpang ditempuh sekitar 1 jam. Kami langsung ke basecamp pendaki dan sepi sekali. Hiks… Jadi, karena romobongan teman Mas Titut sudah 12 orang, transportasi ke Ranu Pani murni jadi urusan kami berdua. Biasanya ketika pendaki ke basecamp, akan dengan mudah mendapat teman berangkat ke Ranu Pani untuk meringankan biaya. Tarif jip sendiri adalah 650.000 per perjalanan, maksimal dibagi 12 orang. Nah, karena kami hanya berdua, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu sampai ada pendaki lain yang akan naik ke Ranu Pani. Jangan khawatir, insya Allah basecamp aman untuk bermalam karena ada security 24 jam. Musholla dan kamar mandi juga cukup memadai ditambah banyak warung makan dengan harga wajar. Saya dan Mas Titut tidur di sebuah ruko kosong, lumayan dingin, tapi dengan jaket dan sleeping bag, tidur bisa menjadi sangat nyaman.
Selama kami tidur, ternyata ada dua rombongan pendaki yang datang. Alhamdulillah pukul 7 pagi kami bisa berangkat ke Ranu Pani, perjalanan kesana kurang lebih 1,5 jam dengan pemandangan yang WOW.
Jemplang : perjalanan menuju Ranu Pani
Ranu Pani We Meet Again !!!!
Sampai desa Ranu Pani ! cuaca mendung dan berkabut, dinginnya tanah Tengger langsung menusuk tulang. Sebelum bisa mendaki dan membeli tiket masuk, kami harus mengikuti briefing super lucu dari volunteer SAVE (semoga ingatan saya masih benar ya). Salut sih, selama saya bekerja di Tosari (daerah Tengger juga tapi beda kabupaten) saya tidak pernah menemui briefing seperti ini di Ranu Pani. Mungkin pihak Taman Nasional memperketat prosedur pendakian karena makin banyak kasus yang tidak diinginkan akhir-akhir ini. Yes, kita tidak boleh sombong dihadapan alam dan Sang Pencipta 🙂 Oh ya, jangan lupa siapkan uang tiket sebesar 17.500 di weekdays dan 22.500 di weekend ya plus lengkapi berkas berupa surat keterangan sehat ASLI dan copynya beserta copy KTP 2 kali. Jika semua berkas dan perlengkapan sudah aman, saatnya melangkahkan kaki ke gerbang pendakian. *Isi perut baik-baik sebelum jalan*
Rain Was The Best Friend, So.. Be Nice 😉
Perjalanan dari pos pendaftaran sampai Ranu Kumbolo membutuhkan waktu kira-kira 6 jam dengan perjalanan cukup selow. Tapi tenang saja, banyak sekali ‘bonus’ jalan mendatar atau menurun sepanjang perjalanan, hanya ada satu spot tanjakan ekstrim setelah pos 3 (tapi pendek juga). Meski begitu, tetap harus fokus dan jaga kekompakan tim (kalau kata volunteer SAVE), karena di musim penghujan seperti ini ada titik-titik longsor yang tanahnya tipis bangeeet, alias kepeleset sedikit masuk jurang.
Perjalanan dari Ranu Pani menuju Pos 1
Sejujurnya saya menikmati tracking di musim hujan, suasana berkabut menjadikan perjalanan kami teduh nan sejuk, meski siang bolong tidak terasa sama sekali sinar matahari menyinari jalan yang kami lalui. Lagipula saya memang kangen banget dengan kabut putih yang menghapus semua pemandangan sekitar yang hanya bisa saya temui di tempat-tempat lebih dari 1500 MDPL.
Jalur longsor dan berkabut
Kami sampai di Ranu Kumbolo sekitar pukul 16.00, dan reaksi pertama saya adalah whoaaa sepi amat yak ! Asik. Haha. Karena pengalaman sebelumnya saya ke Ranu Kumbolo ketika puncak musim pendakian dan tentu saja tepian danau berubah bak pasar. Nah, dari spot ‘Pos 4’ ke tempat camping butuh jalan lagi sekitar 10-15 menit, saya sangat menyarankan lewat bawah dan melipir melalui tepian danau. Sangat menghemat waktu daripada jalur konvensional. Aman kok 🙂
Ranu Kumbolo dari ‘Pos 4’ – jalan dikit, turun, susur danau, sampai ke camping ground
Menyusuri danau
Nah ini yang bikin nyesek, setelah kami sampai di tempat camping, ternyata rombongan teman Mas Titut menyewa porter untuk membawa tenda dan mendirikannya sembari menunggu romobongan datang. Jadilah tenda kuning berjajar rapi menanti kami. Sementara saya dan Mas Titut harus bongkar tas dulu untuk mendirikan tenda. Hiks. Tapi untungnya tenda kami compact dan tidak ribet, jadi 15 menit bisa siap dimasuki.
One Night and Morning in Ranu Kumbolo
Makan sore sambil memandang danau luas nan tenang merupakan pengalaman mewah bagi saya. Meski menunya ya (lagi-lagi) mie instan, tapi rasanya mungkin 100 kali lebih nikmat daripada biasanya. Matahari masih enggan muncul, jadilah pergantian sore ke malam didominasi warna putih, abu-abu, dan hitam pekat. Saya langsung setelah sholat Isya’ agar perjalanan pulang besok bisa bugar.
Sempat melihat langit sebentar, bintangnya hanya sedikit. Yah saya memang tidak berharap banyak bisa melihat starry sky di pegunungan meski bulan kemarau. Soalnya itu memang kesempatan super langkaaa.
Sholat Subuh esok hari adalah perjuangan ! hehe, air Ranu Kumbolo serupa es menyentuh kulit yang merah karena kedinginan. Duh, rasanya pengen mulet lagi di sleeping bag. Tapi garis perak dan merah sudah terlihat di langit. It means we have to hurry, pray and catching the sun. Pagi itu matahari tidak menyembul di antara bukit, karena memang pergerakan matahari sedang bergeser. Bagi yang ingin melihat momen sunrise seperti gambar anak SD, datanglah ke Ranu Kumbolo di bulan Agustus.
Sunrise Ranu Kumbolo, sedikit mendung tapi tetap
Embun pagi
Meski alam terlihat murung sepanjang kami berada di Ranu Kumbolo, saya sangat bersyukur bisa kembali ke danau ini, apalagi bersama Mas Titut. Bisa dibilang tempat ini adalah titik awal kami kenal dan akhirnya berlanjut ke jenjang yang lebih serius *eh kok malah curcol.
Banyak bunga kuning dan ungu tersebar di sekitar camping ground
Savana di sekitar Ranu Kumbolo
Let’s Go Home, Don’t Forget Your Best Friend : Rain
Perjalanan pulang biasanya lebih cepat dan memang benar. Kami sampai pos 1 dengan menempuh perjalanan hampir 4 jam. Semuanya tampak sempurna ketika itu, sungguh. Tapi kejutan dari langit mengiringi perjalanan 1 jam kami berikutnya, hujan super super super deras turun bak ditumpahkan. Jalanan dari pos 1 ke desa Ranu Pani seluruhnya menurun, tapi jalanan jadi seperti aliran sungai dengan air kecoklatan. Selama itu juga saya dan rombongan berjalan cepat dalam hening, masing-masing fokus ke jalan dan ranting pohon yang siap menampar muka kami. Lalu, jaket dan sepatu saya basah kuyup meski sudah menggunakan jas hujan, tas yang saya bawa basah sedikit, serba basah dan dingin ! Nah, persiapan dobel ketika musim hujan sangat disarankan, untung hujan turun ketika pulang, coba pas kami berangkat, mungkin saya bisa membeku di Ranu Kumbolo.
Untuk bisa pulang ke terminal Tumpang, kami (lagi-lagi) mencari teman seperjalanan yang bisa diajak share ride. Tapi tampaknya Ranu Pani sepi-sepi siiing… Alamak saya dan mas Titut sudah kedinginan, untunglah kami menemukan driver akan pulang ke Tumpang, jadilah tarif jip dibuat semiring mungkin, 200 ribu sekali jalan dengan jip serba tertutup yang pastinya tidak kena angin. Kalau mau yang lebih murah dan tahan malu, cari saja pick up sayuran yang nampak mau keluar Ranu Pani, nego-nego asik biasanya bisa mengantar dengan tarif 50ribu per orang.
And This Moment Really Means A Lot For Us : #0KmKita
#0KmKita Nostalgia, berdua lagi di sini 🙂
Dan nyatanya, perjalanan kami tidak seindah foto2nya. 🙂
Perjuangan cari transportasi murah tanpa rombongan, kehujanan sampai hampir semua barang kami basah, dan balada tidur di tenda camping ceria yg membuat kami freezing to the max. Apalagi kalau sudah jadi suami istri, konon emosi sudah tidak lagi ditutup-tutupii alias tidak ada jaim-jaim malu. Maka terciptalah momen-momen kucing dan anjing ala kami, but really.. justru ketika lagi jauh, yang dikangenin ya momen jahil-usil-ngambek lalu bisa ketawa bareng lagi.
Dan quote of the day untuk perjalanan ini adalah :
Ketika kau bisa menjadi dirimu sendiri, marah untuk berbaikan, tertawa atas kesalahan bodohmu, itu artinya kau sedang bersama orang yg tepat.
Jangan lupa follow Instagram saya untuk intip foto-foto perjalanan #0KmKita di @banibacan 🙂